Al-Qur’an adalah wahyu Ilahi yang berisi nilai-nilai universal kemanusiaan. Ia diturunkan untuk dijadikan petunjuk, bukan hanya untuk sekelompok manusia ketika ia diturunkan tetapi juga untuk seluruh manusia hingga akhir zaman. Nilai-nilai dasar Al-Qur’an mencakup berbagai aspek kehidupan manusia secara utuh dan komprehensif (Q.S. al-An’âm/6:37). Tema-tema pokoknya mencakup aspek ketuhanan, manusia sebagai individu dan anggota masyarakat, alam semesta, kenabian, wahyu, eskatologi, dan makhluk-makhluk spiritual. Eksistensi, orisinalitas, dan kebenaran ajarannya dapat dibuktikan oleh sains modern (QS. al-Hujurât/15:9), sedang tuntunan-tuntunannya adalah rahmat bagi semesta alam (Q.S. al-Furqân/25:1).
Namun demikian, Al-Qur’an tidak boleh ditonjolkan sebagai kitab antik yang harus dimitoskan, karena hal tersebut bisa menciptakan jarak antara Al-Qur’an dengan realitas sosial. Al-Qur’an di satu pihak diidealisasi sebagai sistem nilai sakral dan transendental; sementara di pihak lain realitas sosial yang harus dibimbingnya begitu pragmatis, rasional, dan materialistis. Seolah-olah nilai-nilai Al-Qur’an yang diadreskan untuk manusia berhadap-hadapan dengan realitas itu.
Membumikan Al-Qur’an merupakan sebuah keniscayaan. Sebagai kitab suci terakhir, Al-Qur’an menerobos perkembangan zaman, melintasi batas-batas geografis, dan menembus lapisan-lapisan budaya yang pluralistik. Karena memang kandungannya selalu sejalan dengan kemaslahatan manusia. Di mana terdapat kemaslahatan di situ ditemukan tuntunan Al-Qur’an dan di mana terdapat tuntunan Al-Qur’an di situ terdapat kemaslahatan.
Membumikan Al-Qur’an sesungguhnya tidak lain adalah melakukan upaya-upaya terarah dan sistematis di dalam masyarakat agar nilai-nilai Al-Qur’an hidup dan dipertahankan sebagai faktor kebutuhan di dalamnya, serta bagaimana menjadikan nilai-nilai Al-Qur’an sebagai bagian inheren dari perbendaharaan nilai-nilai lokal dan universal di dalamnya.
Proses pembumian Al-Qur’an dalam lintasan sejarah menarik untuk dicermati. Kitab suci ini secara utuh bersumber dari Tuhan, tetapi tidak diturunkan sekaligus. Kondisi obyektif Al-Qur’an diturunkan selama kurun waktu 23 tahun dengan dua fase yang relatif berimbang, yaitu fase makkiyyah dan fase madaniyyah. Ini semua menjadi isyarat bahwa pembumian Al-Qur’an di dalam masyarakat membutuhkan waktu dan proses panjang.
Asas pembumian Al-Qur’an mempunya tiga perinsip, yaitu: 1) meniadakan kesulitan (‘adam al-haraj), 2) pembatasan beban (taqlîl at-taklîf), dan 3) penetapan hukum secara berangsur-angsur (al-tadrîj fi at-tasyrî’). Keberangsuran ini membuktikan adanya proses dialogis dan dialektis antara Al-Qur’an dan realitas sosial. Hal ini juga memberikan legitimasi psikologis dan sosiologis untuk penerapan strategi bertahap dalam proses pembumian Al-Qur’an. Dengan demikian, proses pembumian Al-Qur’an harus dipandang sebagai proses bekelanjutan, pergumulan yang tanpa henti, seiring dengan perjalanan waktu dan perkembangan umat manusia.
Sebagaimana halnya nilai-nilai lain, proses akulturasi dan enkulturasi nilai-nilai dasar Al-Qur’an dalam lintasan sejarah tidak saja memberi warna baru kepada sasaran-sasarannya, karena ia membuka diri pada setiap budaya posistif sepanjang masa. Ini antara lain disebabkan karena sebagian besar ayatnya dapat mengandung aneka interpretasi dan karena kitab suci ini menghidangkan simbol (amtsal) yang sarat makna, lagi terbuka bagi nalar para cendekiawan. Di sinilah kekhususan Al-Qur’an; ia memberikan kesempatan kepada setiap budaya untuk menafsirkan dan mengaktualkan diri dalam wadah nilai-nilai universalnya. Dalam kenyataannya, meskipun hanya satu Al-Qur’an, tetapi terjadi spektrum keanekaragaman pemahaman dan penerapan ajaran di dunia Islam.
Proses pembumian Al-Qur’an tidak bisa menghindari fenomena kontak budaya (cultural contact), yaitu antara tuntutan untuk mewujudkan tata nilai yang haq dan kepentingan untuk memelihara keharmonisan di dalam masyarakat. Tentu saja dalam hal ini keharmonisan tidak boleh dikorbankan untuk menegakkan tata nilai yang haq, dan ia pun tidak boleh dipertahankan bila dibangun atas landasan yang bathil.
Fenomena lain yang menarik untuk dicermati ialah adanya kecenderungan di kalangan intelektual muda Islam yang lebih familiar merujuk kepada karya-karya filsafat dan ilmu-ilmu sosial ketimbang kembali kepada ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis dalam menyikapi problem sosial yang sedemikian rumit di dalam masyarakat. Mereka seolah-olah kehilangan daya tarik untuk menghubungkan problem sosial kepada ayat-ayat Al-Qur’an. Fenomena ini tentu tidak berdiri sendiri, tetapi terkait satu sama lain. Mungkin ini disebabkan adanya “monopoli” kalangan ulama dalam memahami dan menafsirkan Al-Qur’an, sementara ilmuan lain di luar kategori ulama jarang diajak terlibat dalam proses membumikan Al-Qur’an. Di samping itu, ‘Ulumul Qur’an termasuk disiplin ilmu keislaman yang sedikit sekali disentuh pembaharuan. Karya-karya klasik seperti Al-Burhân fi ‘Ulûm al-Qur’ân karya Az-Zarkasyi (w. 794 H) dan At-Itqân fi‘Ulûm al-Qur’ân karya As-Suyûthi (w. 911 H) masih tetap dominan dalam kajian ‘Ulumul Qur’an yang datang berikutnya. Sementara, disiplin ilmu-ilmu sosial dan para ilmuannya mengalami perkembangan yang cukup pesat. Dengan demikian, sesungguhnya letak persoalannya bukan pada Al-Qur’an itu sendiri, tetapi media dan sarana, termasuk metodologi, dalam mana ia memperkenalkan dan mewujudkan dirinya dalam kemasan yang sudah mulai termakan usia, sehingga mungkin terasa kalah bersaing dengan disiplin ilmu-ilmu lain.
Salah satu upaya membumikan Al-Qur’an dalam konteks masyarakat modern ialah mengintrodusir metode-metode ilmu sosial dalam memahami dan mengartikulasikan nilai-nilainya di dalam masyarakat. Namun, ini bukan persoalan sederhana, karena masih terbentang jarak yang sangat panjang antara ontologi ilmu-ilmu agama, termasuk ilmu-ilmu Al-Qur’an, dan ontologi ilmu-ilmu sosial. Penafsiran Al-Qur’an sebagai bagian dari ilmu agama bertolak dari perspektif transendental, yang melampaui dunia nyata, berangkat dari keyakinan dan hakikat kemanusiaan, sedangkan ilmu-ilmu sosial beranggapan segala sesuatu harus dapat diterangkan secara rasional dan berangkat dari sikap skeptis. Salah satu Obsesi Pusat Studi Al-Qur’an (PSQ), bagaimana menjembatani dua sudut pandang ini.
PSQ berobsesi membumikan Al-Qur’an tanpa menimbulkan ketegangan konseptual di dalam masyarakat. PSQ berupaya melakukan pencerahan di dalam masyarakat dengan tetap memperhatikan aspek keseimbangan antara kesinambungan (continuity) dan keharmonisan (harmony) di dalam masyarakat. Ini sesuai dengan strategi PSQ untuk memelihara nilai-nilai lama yang masih relevan dan mengakomodir nilai-nilai baru yang lebih positif (al-muhâfazhah ‘ala al-qadîm al-shâlih wa al-akhdzu bi al-jadîd al-ashlah).
0 comments:
Post a Comment