Thursday, September 2, 2010

Makrifatullah; Menuju Cinta dan Penghambaan Hakiki





Mengenal adalah sebuah langkah awal dari proses interaksi yang sukses. Ia juga merupakan aksioma hidup yang mustahil dapat dipisahkan dari manusia. Sebagai makhluk sosial, interaksi dengan lingkungan sekeliling kita merupakan kebutuhan asasi, disamping kebutuhan kepada makan dan minum. Sementara interaksi akan menjadi absurd bila tidak didasari oleh pengetahuan tentang objek interaksi. Artinya, kontak hubungan antara dua pelaku yang saling tidak mengenal adalah kontak yang buta dan penuh resiko. Manusia yang masuk ke dalam sebuah bangunan asing tanpa terlebih dahulu tahu kondisi di dalamnya, berarti memasrahkan dirinya terperangkap dalam bahaya besar. Persis sama dengan manusia yang nekad mengendarai binatang yang belum dia kenal tabiatnya.

Bila interaksi dengan benda mati dan binatang membutuhkan pengenalan terlebih dahulu, maka interaksi dengan sesama manusia tentunya membutuhkan pengenalan lebih mendalam. Karena bila benda mati dan binatang cenderung statis, maka manusia adalah makhluk Allah yang dinamis. Selalu mengalami perubahan dan perkembangan adalah ciri khas manusia. Dinamisasi gerak dan perkembangan ini yang membuat proses pengenalan antar sesama manusia harus lebih intensif dan mendalam. Oleh karenanya, ketika seorang Sahabat mendatangi Rasulullah Saw. dan mengaku telah mengenal temannya, Rasulullah tidak langsung percaya. Rasul ketika itu bertanya, pernahkan ia berjalan jauh bersama, tidur bersama, dan berinteraksi keuangan dengan temannya itu? Maka ketika sang Sahabat menjawab; "belum", Rasul dengan tegas mengatakan, "Berarti engkau belum mengenalnya."
Di atas segalanya, mengenal sesama manusia merupakan tujuan utama mengapa manusia diciptakan dalam bentuk berpasang-pasangan, berbangsa-bangsa, dan bersuku-suku. Allah Swt. berfirman:
"Hai manusia sesungguhnya kami menciptakankan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal". (Al-Hujuraturat: 13)   
Bila interaksi dengan segenap makhluk; benda mati, binatang, dan manusia membutuhkan pengenalan terdahulu, maka tentunya interaksi dengan Sang Pencipta seluruh makhluk ini jauh lebih membutuhkan pengenalan. Bila benda mati dan binatang bersifat statis, maka Allah adalah pencipta kestatisan itu. Bila manusia bersifat dinamis, maka sungguh kata dinamis itu tidak akan pernah ada tanpa izin Allah. Bila benda mati, binatang, dan manusia adalah objek nyata yang dapat diraba dengan panca indera, maka Allah adalah Dzat Maha Ghaib yang tidak tersentuh panca indera.
Tulisan berikut akan memaparkan secara spesifik pembahasan tentang "Mengenal Allah" ini. Karena keterbatasan ruang dan waktu, pembahasan akan difokuskan kepada beberapa permasalahan yang dianggap urgen. Wallahu waliyyu at-taufiq
Pentingnya Mengenal Allah
Mengenal Allah sesungguhnya merupakan bentuk ilmu tertinggi yang mampu digapai manusia. Ia merupakan pondasi dasar tempat berdirinya segenap kehidupan ruhiyah seorang hamba. Darinya semua kesempurnaan imam berasal. Mengenal dan mengimani para nabi beserta seluruh apa yang mereka bawa tidak akan pernah ada tanpa pengenalan yang mendalam terhadap siapa yang mengutus mereka. Keimanan terhadap adanya malaikat, jin, hari akhirat, sorga, dan neraka akan menemui benturan bila pengenalan kepada Allah belum tuntas. Maka, sungguh mengenal Allah hakikatnya adalah membuat sebuah pondasi kokoh yang diatasnya berdiri keimanan membaja yang siap dibenturkan kepada tantangan apapun.
Bila di mukaddimah telah disampaikan betapa pentingnya mengenal makhluk di sekitar kita, maka sesungguhnya tujuan tertinggi dari mengenal seluruh makhluk adalah bagaimana manusia dapat mengenal Tuhannya. Semua makhluk diciptakan Allah hakikatnya adalah demi mengantarkan manusia kepada pengenalan yang utuh terhadap hakikat Penciptanya. Ini yang Allah tegaskan dalam firmanNya:
"Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya ilmu Allah benar-benar meliputi segala sesuatu". (Ath-Thalaq: 12)
Di ayat ini dengan jelas Allah sampaikan, betapa alasan penciptaan tujuh lapis langit dan tujuh lapis bumi adalah agar manusia mengenal betapa kuasanya Allah Swt. Semuanya ada agar manusia merenungi keagungan Dzat yang menciptakannya.
Bahkan, penciptaan diri manusia sendiri hakikinya bertujuan untuk mengenalkan manusia kepada siapa yang menciptakan mereka. Allah Swt. berfirman:
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku" (Adz-Dzariat: 56)
Dalam tafsir Al Quran al Azhim milik Ibnu Katsir disebutkan bahwa Ibnu Juraij berpendapat bahwa kata-kata "liya`buduuni" (agar mereka menyembahKu) dalam ayat ini memiliki arti liya`rifuuni" (agar mereka mengenalKu).
Mengomentari hal ini, Syaikh Yusuf Qaradhawi mengatakan: barangkali maksudnya adalah bahwa "ibadah" tidak mungkin ada dan bernilai tanpa melalui proses "mengenal" terlebih dahulu. Adalah mustahil membayangkan manusia menyembah objek yang tidak dikenalnya. Maka tingkatan "Makrifah" terletak sebelum tangga "Ibadah".
Benar adanya, bahwa menyembah Allah adalah mustahil tanpa terlebih dahulu berusaha mengenalNya. Kalaupun ada manusia yang menyembah Allah tanpa tahu siapa yang ia sembah, maka nilai nol-lah yang hanya dia dapat dari ibadahnya. Tidak salah memang bahwa: "siapa yang menyembah Allah sementara ia tidak mengenalNya, ia sama saja dengan orang yang kafir terhadap Allah."
Makna Mengenal Allah
Maksud mengenal Allah adalah: mengetahui hal-hal yang berada dalam batasan kemampuan akal manusia, berupa keberadaan, kekuasaan, keagungan, dan kemahabesaran Allah, sehingga memunculkan rasa semakin dekat dan butuh kepadaNya. Adapun usaha mengenal Dzat Allah yang ghaib dan melampaui batas kemampuan akal manusia, adalah hal yang dilarang dalam Islam. Rasulullah Saw. bersabda:
"Berpikirlah tentang ciptaan Allah, dan janganlah berpikir tentang Dzat Allah, Karena kalian tidak akan pernah mampu memikirkanNya" (HR Abu Nu`aim dalam kitab Hulyatul Auliya`)
Maka yang dimaksud dengan usaha mengenal Allah adalah usaha mengetahui dan meresapi keagungan Allah melalui sifat-sifat dan ciptaanNya, dengan niat semakin cinta dan ingin mendekatkan diri kepadaNya. Bukan berusaha mengetahui detail dzat Allah yang malah akan mengantarkan kepada kekufuran dan membayangkan Dzat Allah serupa dengan makhlukNya (maha suci Allah dari semua itu).
Jalan Mengenal Allah
Untuk mengenal Allah, ada dua jalan yang diajarkan Islam:
Pertama, melalui akal dan perenungan terhadap seluruh ciptaan Allah.
Adalah mesti bila setiap anggota tubuh yang dimiliki manusia memiliki tugas dan kerjanya masing-masing. Jasad manusia yang terdiri kepala, mata, hidung, mulut, tangan, kaki dst… memiliki fungsi yang sesuai dengan posisi dan kemampuan geraknya. Begitupun Akal, sebagai salah satu fasilitas paling mahal yang Allah anugerahkan kepada manusia, ia memiliki tugas sesuai dengan kapasitasnya, yaitu aktivitas pikir dan perenungan. Bila ia berhenti beraktivitas sesuai tugasnya, berarti akan berhentilah gerak dan kreativitas hidup manusia. Semua kemajuan dan perkembangan yang terjadi sepanjang dunai terkembang, tidak lain adalah hasil dari kerja nyata akal yang kreatif. Kematian gerak akal berarti kepunahan peradaban manusia.
Mengingat pentingnya peran akal dalam kehidupan, Islam memiliki perhatian yang demikian besar untuk perkembangan akal manusia. Islam ingin akal manusia keluar dari belenggu kebekuan dan taklid. Maka betapa banyak kita temukan di dalam Al Quran perintah untuk bertafakkur dan merenung. Bahkan Islam memandang aktivitas berpikir sebagai intisari Ibadah. Lihat misalnya firman Allah:
"Katakanlah:"Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi…". ( Yunus: 101)
"Katakanlah: "Sesungguhnya aku hendak memperingatkan kepadamu suatu hal saja, yaitu supaya kamu menghadap Allah (dengan ikhlas) berdua-dua atau sendiri-sendiri; kemudian kamu pikirkan." (`: 46)
Bahkan orang-orang yang tidak memaksimalkan nikmat akal untuk berpikir dan merenungkan ciptaan Allah, mendapatkan kecaman sinis dari Allah. Lihat misalnya firman Allah:
"Dan banyak sekali tanda-tanda kekuasaan Allah di langit dan di bumi yang mereka melaluinya, sedang mereka berpaling dari padanya" (Yusuf: 105)"
"Dan sekali-kali tiada datang kepada mereka suatu tanda dari tanda-tanda kekuasaan tuhan mereka, melainkan mereka selalu perpaling dari padanya" (Yasin: 46)
Lebih jauh dari itu, keengganan berpikir bahkan membuat derajat manusia terjerumus amat dalam, hingga lebih rendah dari derajat binatang. Allah Swt. berfirman:
"Dan sesungguhnya kami jadikan untuk isi neraka jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah), dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakan untuk melihat tanda-tanda kebesaran Allah, dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakan untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu ibarat binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi." (Al A`raf 179)
Sekedar penegasan dari apa yang kita tuliskan di atas, bahwa ketika Islam mengajarkan manusia untuk berpikir, sesungguhnya yang dimaksud dengan berpikir di adalah pikir dalam batas-batas kemampuan akal manusia. Bukan pikir yang kebablasan sehingga melewati koridor kekuatan akal yang terbatas.
Oleh karena itulah, Islam memerintahkan umatnya berpikir tentang ciptaanNya, tentang langit dan bumi, tentang diri manusia sendiri, tentang gunung-gunung, tentang binatang-binatang, tapi Islam melarang manusia untuk berpikir tentang Dzat Allah. Alasannya, karena itu berada di luar jangkauan akal manusia. Dan berpikir tentang itu berarti membebani akal dengan sesuatu yang tidak disanggupinya. Maha besar Allah yang menciptakan hambanya, dan Maha Tahu akan kemampuan ciptaanNya.
Tujuan terbesar yang sesungguhnya diinginkan Islam melalui dorongan optimalisasi akal ini adalah, bagaimana manusia dapat sampai kepada mengenal hukum alam raya, penyebab keberadaan semesta, dan hakikat keberadaan benda-benda. Tujuan final dari semuanya adalah mengarahkan manusia kepada pengakuan dan pengenalan Sang Pencipta Yang Maha Agung.      
Mari baca dan renungkan untaian ayat-ayat berikut dengan seksama:
"Katakanlah: "Segala puji bagi Allah dan kesejahteraan atas hamba-hamba-Nya yang dipilihnya. Apakah Allah yang lebih baik, ataukah apa yang mereka persekutukan dengan Dia? Atau siapakah yang telah menciptakan langit dan bumi dan yang menurunkan air untukmu dari langit, lalu kami tumbuhkan dengan air itu kebun-kebun yang berpemandangan indah, yang kamu sekali-kali tidak mampu menumbuhkan pohon-pohonnya? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Bahkan (sebenarnya) mereka adalah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran. Atau siapakah yang telah menjadikan bumi sebagai tempat berdiam, dan yang menjadikan sungai-sungai di celah-celahnya, dan yang menjadikan gunung-gunung untuk (mengokohkan)nya, dan menjadikan suatu pemisah antara dua laut? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Bahkan (sebenarnya) kebanyakan dari mereka tidak mengetahui. Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang berada dalam kesulitan apabila ia berdoa kepadaNya?, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingatNya. Atau siapakah yang memimpin kamu dalam kegelapan di daratan dan lautan dan siapa (pula)kah yang mendatangkan angin sebagai kabar gembira sebelum (kedatangan) rahmatNya? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Maha tinggi Allah terhadap apa yang mereka persekutukan (denganNya)." (An Naml: 59-63)
Maka argumentasi apa lagi yang lebih kuat dari renungan yang membelai nurani ini? Dalil apa lagi yang lebih paten dari bisikan yang menyentuh kalbu ini? Sungguh, bila masih ada akal yang tidak tunduk terhadap keniscayaan yang disenandungkan ayat ini, tidak akan ada dalil lain yang mampu menundukkannya.
"…Barangsiapa yang tidak diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah, tiadalah dia mempunyai cahaya sedikitpun." (An Nur: 40)
Kedua, mengenal Allah melalui sifat-sifat dan nama-nama Allah.
Disamping perenungan terhadap ciptaan Allah, ada jalan lain yang diajarkan Islam untuk mengenal Allah lebih dekat, yaitu dengan memahami nama-nama Allah dan sifat-sifatNya yang mulia. Dengan pengetahuan plus pemahaman yang benar terhadap nama dan sifat-sifat Allah, seorang hamba akan merasa semakin dekat dengan Dzat Yang Maha Agung itu. Nama dan sifat-sifat itu ibarat jendela yang menghubungkan ruangan hati manusia dengan kebesaran Allah Swt. Di akan terbentang perasaan kecil dan kerdil di depan kemahaperkasaan yang terpancar dari nama dan sifat-sifat agung itu.
Dalam Al Quran Allah menerangkan bahwa Ia memiliki nama-nama mulia yang kita kenal dengan sebutan Al Asmaul Husna (Nama-nama Allah yang Indah). Allah Swt. berfirman:
"Katakanlah: "Serulah Allah atau serulah Ar Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, dia mempunyai al-asmaul husna (nama-nama yang terbaik…" (Al Isra`: 110)
"Hanya milik Allah al-asmaul husna, maka bermohonlah kepadaNya dengan menyebut al asmaul husna itu." (Al A`raf: 180)
Jumlah Al Asmaul Husna adalah sembilan puluh sembilan nama. Ini sesuai dengan Sabda Rasulullah Saw. dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari, Imam Muslim, dan Imam At-Tirmizi berikut ini:
"Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, siapa yang menghafalnya akan masuk sorga. Sesungguhnya Allah itu ganjil dan menyukai yang ganjil"
Imam At Tirmizi menambahkan dalam riwayatnya dengan menyebutkan sembilan puluh sembilan nama itu secara rinci.
Nama-nama ini bila diresapi dengan seksama, akan melahirkan rasa kagum dan pengagungan yang luar biasa. Dari seorang hamba akan mengenal siapa Tuhan yang wajib disembahnya siang dan malam. Betapa kebesaranNya tergambar demikian transparan dalam deretan nama-nama ini.
Tingkatan Manusia dalam Mengenal Allah Swt.
Dalam mengenal Allah, manusia terdiri dari beberapa tingkatan. Mulai dari derajat yang paling rendah, hingga tingkatan pengenalan paling tinggi. Dan semakin tinggi tingkatan pengenalan manusia kepada Allah, akan semakin tinggi rasa ketakwaan dan kecintaannya kepada Allah. Berikut tingkatan-tingkatan manusia dalam mengenal Allah:
1.    Tingkatan pengetahuan pakar ilmu alam yang menemukan kebesaran Allah melalui penelitian-penelitian ilmiah, namun mereka tidak beriman kepada Al Quran dan Sunnah (dalam artian, mereka non-muslim). Di penelitian mereka mengenal dan meyakini keberadaan Tuhan di balik semua ciptaanNya. Posisi mereka ada pada tingkatan paling bawah, karena walaupun mengakui keberadaan pencipta alam semesta, mereka tidak beriman dalam artian sesungguhnya, berupa iman terhadap Al Quran dan Sunnah. Mereka tidak mengucapkan dua kalimah syahadat yang merupakan kunci pembuka pintu keimanan hakiki.
2.    Tingkatan pengetahuan mukmin kepada Allah yang mendasarkan keimanannya kepada naluri fitrawi serta banyak mendengar tentang keberadaan Allah Swt. Pengenalan kelompok ini terhadap Allah berada dalam tingkatan terendah di kalangan orang beriman. Mereka adalah mukmin yang paling rendah tingkat ketakwaan, kecintaan, dan rasa takutnya kepada Allah.
3.    Tingkatan pengetahuan mukmin yang ahli dalam bidang syariat (kalangan ulama). Mereka ini berada dalam tingkatan pengetahuan yang tinggi terhadap Allah. Pengenalan mereka bersandarkan kepada pemahaman yang mendalam terhadap nash-nash agama. Mereka mengenal Allah melalui kabar langsung dari Allah (Al Quran) serta pemahaman terhadap sabda Nabi dan ulama-ulama sebelum mereka. Ringkasnya, mereka mengenal Allah melalui ilmu agama yang mereka miliki.
4.    Tingkatan pengetahuan para nabi dan rasul. Tingkatan ini merupakan jenjang pengenalan paling tinggi terhadap Allah Swt. Mereka menggabungkan keimanan berdasarkan kesucian fitrah, pengetahuan akan hukum, serta penerimaan langsung dari sumber aslinya (Allah Swt.) Inilah yang ditegaskan oleh Rasulullah kepada beberapa orang Sahabatnya dalam sebuah hadits shahih:
"Demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling mengenal Allah dan paling takut kepadaNya di antara kalian." (HR. Bukhari dan Muslim)
Penutup; Menuju Cinta yang Hakiki
"Tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta." Menjadi hamba yang mampu menunaikan hak-hak Allah dengan penyembahan yang sempurna dan kecintaan tulus kepadaNya, tidak akan pernah terwujud tanpa mengenalnya. Sebagai mukmin, dua metode pengenalan Allah yang dipaparkan diatas tentu belum lengkap tanpa terus berusaha berinteraksi dengan Allah melalui ibadah-ibadah wajib dan sunnah. Di pertengahan jalan akan kita temukan banyak pelajaran yang akan semakin membuat kita kenal dengan Dzat yang kita sembah. Semakin dalam interaksi kita dengan Allah, semakin kenal, semakin dekat, dan akan semakin cinta kita kepadaNya. Di situ puncak cinta hakiki akan kita reguk. Cinta kepada Dzat yang menciptakan cinta di relung hati anak manusia. Wallahu a`lam. (Nopember 2006)



0 comments: