Thursday, September 2, 2010

Merengkuh Puasa Bermakna; Sebuah Otokritik Sederhana untuk Puasa Masisir

Berbicara tentang Masisir artinya berkisah tentang sebuah kehidupan penuh romantika. Cerita perjalanan para duta bangsa dengan dinamikanya yang menarik. Bahwa tidak ada masyarakat yang sempurna, kita tentu sepakat. Selalu saja ada kekurangan setiap kali kita menyempatkan diri melongok ke dunia sekitar. Hanya surga saja tempat dimana bentuk kehidupan ideal ditemukan. Di lingkungan Madinah yang dipimpin langsung oleh Rasulullah sekalipun, masih saja ada problem sosial ditemukan. Dan, itulah ciri masyarakat manusiawi. Usaha-usaha yang dilakukan anak manusia demi kemaslahatan masyarakatnya, hanyalah sebuah ikhtiar untuk meminimalisir deretan problem itu. Bukan untuk menghapus semuanya sama sekali. Al-farabi saja mengakui betapa sulitnya menemukan karakter-karakter fundamental dalam mewujudkan konsep Madinah Fadhilah-nya. Ini tentu berangkat dari fakta betapa masyarakat adalah kumpulan pribadi yang di-fitrahkan untuk serba kekurangan, No Body`s Perfect.
Ramadan tahun ini menjadi Ramadan keenam penulis di bumi Mesir. ‘Ramadhan Kariim’, termasuk potongan kalimat pertama yang paling akrab di telinga penulis kali pertama datang. Suasana menyentuh kalbu benar-benar terasa di sini, terlebih saat Sya`ban pamit. Mesjid-mesjid membludak dengan shaf-shaf tarawihnnya. Masisir tidak mau ketinggalan. Wajah-wajah Indonesia tidak sulit ditemukan diantara shaf panjang mesjid-mesjid Kairo. Sesekali, derai airmata mereka ikut berbaur bersama isak para makmum yang khusuk mengiringi bacaan imamnya. Sebuah harapan membuncah muncul akan perubahan yang akan dipelopori para duta bangsa ini kelak. Kesan pertama yang demikian indah ketika itu.
Ramadan demi Ramadan berlalu, penulis mulai melihat betapa nilai-nilai Ramadan agaknya kesulitan menemukan tempatnya dalam medan sosial Masisir. Ada kesan bahwa nilai-nilai itu tercecer seiring dengan berlalunya Ramadan. Sejauh apa Ramadan mempengaruhi interaksi sosial kita? Sejauh mana problem-problem lingkungan kita terentaskan melalui nilai-nilai yang diajarkannya? Semuanya menjadi tanda tanya besar.
Bukan bermaksud sok menjadi pengamat lingkungan, paling tidak, keluhan-keluhan yang belakangan muncul tentang kejanggalan gaya gaul Masisir, cukup untuk sekedar bukti akan masih musykilnya tatanan sosial kita. Ini belum ditambah dengan persoalan kegagalan akademis dan mis-orientasi sebagian kita. Ada krisis yang sedang bergolak serius. Civitas Masisir jelas membutuhkan waqfah mendalam demi menanggulangi semuanya.
Tulisan ini bermaksud mengajak kita untuk introspeksi diri, tepat di saat bulan muhasabah ini kembali menyambangi kita. Ada apa sehingga Ramadan-ramadan lalu ternyata belum memberikan apa-apa, selain maidah rahman dan kucuran musa`adah-nya tentu. Semoga catatan kecil berikut mampu membawa kita menuju muhasabah yang lebih berarti.
Pertama, meminjam istilah Abul Hasan An Nadawi, diakui atau tidak, kita masih cenderung menjalankan puasa pasif. Belum beranjak kepada apa yang disebut dengan puasa aktif. Mayoritas kita masih berada dalam taraf menahan lapar dan haus dalam artian semu. Belum banyak kita yang coba memaknai rasa lapar dalam bentuk sesungguhnya. Tidur pagi berlebihan yang menjadi problem klasik Masisir malah menemukan justifikasinya di bulan ini. Pesan sosial yang ingin disampaikan puasa melalui rasa haus dan lapar menjadi samar dengan sendirinya.
Kalaupun benar bahwa para sahabat dan salafushaleh juga beristirahat pagi di bulan Ramadan, itu tentunya setelah semalaman berdiri dalam qiyam yang panjang. Kita? Tanpa maksud mengeneralisir, jangankan qiyam hingga sahur, tidak jarang di pertengahan tarawih kita sudah bertumbangan. Lebih dari itu, mereka istirahat dengan frekuensi yang wajar. Kita? Sekali lagi, tanpa maksud mengeneralisir, terkadang hanya azan Zuhur yang dapat menghentikan `keseriusan` dengkuran kita. Adalah ironis bila Ramadan malah semakin menancapkan sebuah kebiasaan yang semestinya jauh-jauh kita buang.
Kedua, sekadar mengingatkan, bahwa minat ilmiah kita terkadang malah terkesan kebablasan (semoga istilah ini tidak salah). Perhatian kita terhadap bahasan logika an sich seringkali malah membuat permasalahan-permasalahan pokok terkesampingkan. Dalam konteks Ramadan misalnya, berapa banyak kita yang sudah menguasai fiqih puasa? Berapa banyak kita yang sudi membolak-balik kitab Shiyam sebelum menjalani Ramadan? Atau siapa yang mengiringi puasanya dengan bacaan-bacaan ruhi?
Dampaknya tentu kepada spirit puasa itu sendiri. Akan beda tentunya sikap yang dilandasi oleh pemahaman universal, dengan sikap yang beralaskan pemahaman `seadanya`. Kesalahan berbuat seringkali bermula dari kesalahan persepsi. Boleh jadi ini jawaban mengapa kita lebih memilih tarawih di Nuri Khattab misalnya ketimbang di mesjid As Salam atau Bilal. Atau lebih tragisnya, kita lebih asyik bercengkerama ria di depan monitor ketimbang ikut dalam shaf-shaf tarawih. Singkatnya, pemahaman dan peresapan yang belum utuh terhadap nilai Ramadan. Saatnya untuk sejenak beristirahat dari tumpukan konsumsi logika tok, untuk memberikan ruang spiritual untuk bernafas. Hanya dengan itu, Ramadan dapat memberikan arti.
Terakhir, Sudah waktunya kita merenung, apa yang membuat generasi terdahulu berhasil mencatatkan sejarah-sejarah gemilang bersama Ramadan? Sebutlah misalnya Badar, Fathu Makkah, Tabuk, Andalusia, Ain Jalut, hingga proklamasi kemerdekaan kita. Lalu, mari bandingkan dengan Ramadan demi Ramadan yang terus bergulir menyapa kita. Apa yang baru kita hasilkan selain prestasi sekian piring nasi yang kita lahap setiap ifthor.
Kembali ke paragrap awal, tidak ada masyarakat yang sempurna memang. Tapi itu bukan berarti bahwa usaha-usaha perbaikan harus mentok di garis keputusasaan. Ketidaksempurnaan mestinya menjadi pemicu untuk terus berproses ke arah yang lebih baik. Harus ada semangat perubahan yang mesti terus dipertahankan, karena dengan itu pula kita berhak dinamakan komunitas manusia.
Mumpung masih di pekan awal, mari belajar memberi makna bagi Ramadan. Lebih dari sekedar fungsi individualnya, kita ingin Ramadan juga memberikan arti bagi nuansa sosial kita. Sungguh, Masisir tidak akan memerlukan TPIM misalnya untuk mengawasi pola pergaulan kita, bila makna muraqabatullah yang diajarkan Ramadan mampu kita eksplorasi lebih luas. Sungguh, problem miss-orientasi studi Masisir akan teratasi bila nilai muhasabah yang didiktekan Ramadan mampu kita kembangkan lebih jauh. Kita ingin ada perubahan yang ditinggalkan Ramadan, kelak ketika seluruh alam raya menggemakan takbir di awal syawal. Semoga. (Buletin Informatika, Kairo, Ramadhan 1427)

0 comments: